Thursday, April 10, 2014

Baju Biru

Sinar matahari tidak terlalu terlihat, iringan awan kelabu yang mengarak di atas langit menutupi sinarnya. Tidak ada kehangatan pagi hari seperti yang ia rasakan beberapa bulan lalu. Namun itu tidak menghalanginya untuk terus berlari. Keringat mengucur deras dari keningnya dan ia terus berlari. Telapak kakinya kadang menyentuh pasir yang padat, kadang pasir - pasir itu begitu lembut sehingga menelan injakannya. Kadang - kadang ia harus berlari menyamping agar tidak terkena ombak yang meluncur jauh ke bibir pantai. Terkadang pula ia menerjang ombak yang walaupun terasa berat tapi terasa sangat menyenangkan.  Ia memang sedang berlari di sebuah pantai di Selatan pulau Jawa bagian Barat. Pagi itu pantai tampak sepi, ia sangat menikmati larinya seakan - akan kesepian pantai itu telah disiapkan untuk jalur larinya.
Entah sudah berapa jauh ia berlari saat ia menemukan beberapa hal menarik di bibir pantai. Ada anak - anak kecil yang bermain pasir pantai bersama orang tuanya. Tawa anak - anak itu terlihat lepas. Ada juga orang - orang yang sedang bermain dengan ombak. Semua orang yang ia lihat memiliki kesamaan, mereka sedang bahagia.
Setelah hampir satu jam akhirnya ia kembali juga ke tempat awal ia berlari, teman - temannya sibuk menanyakan dirinya yang tiba - tiba menghilang sesaat setelah mereka menginjakkan kaki di pantai. Ia hanya tersenyum, untuk kemudian langsung menarik salah seorang teman perempuannya yang badannya cukup kecil untuk dibawa menerjang ombak.
Byuur.



Dan suasana semakin ceria, mereka berlomba - lomba menarik teman - temannya menerjang ombak.
Setelah bermain dengan ombak ia mulai merasa lelah dan memutuskan untuk duduk - duduk di pinggir saja. Tiba - tiba wajahnya tersenyum tanpa sebab yang jelas dan itu mengundang tanda tanya temannya yang sejak tadi memang memperhatikannya.
"Hey Bi, senyum - senyum aja dari tadi, kenapa sih ?" tanya Ben yang penasaran.
"Eh, gak ada apa - apa kok. Itu, gw lagi lihat si Vic sama Ola senang banget main ombak." jawab Abi sedikit terkejut, tak menyangka akan pertanyaan itu.
Namun dia masih ingat dengan jelas kejadian pagi itu. Penyebab segala senyum yang menghiasi wajahnya sampai sekarang.
Pagi itu atau mungkin lebih tepat disebut subuh itu dia dan semua teman - temannya sudah bangun. Jam empat pagi memang bukan waktu yang biasa untuk bangun, tidak juga pada saat dia kuliah. Namun subuh itu mereka harus bangun karena perjalanan mereka  menuju pantai tempat mereka akan melihat matahari terbit cukup jauh. Ditambah lagi mereka belum tahu jalan menuju pantai tersebut. Jadi untuk mengantisipasi adanya kejadian - kejadian yang tidak diinginkan seperti tersesat mereka memutuskan pergi lebih awal.
Awalnya perjalanan itu seperti perjalanan lainnya, mereka menyusuri jalan aspal yang lumayan bagus dan jalan yang cukup lengang. Tidak sekalipun mereka bertemu rombongan lain yang akan menuju pantai tersebut. Awalnya mereka mengira bahwa dengan demikian pantai yang akan mereka datangi pasti akan sepi. Kapan lagi punya pantai pribadi, pikir mereka.
Diluar dugaan ternyata perjalanan menuju pantai yg awalnya mulus adalah sebuah penyambutan yang sedikit menipu. Setelah perjalanan yang mulus di awal tidak lama kemudian mereka disambut dengan jalanan yang berlumpur. Patut diketahui bahwa perjalanan mereka ini berlangsung saat musim hujan dan sehari sebelumnya hujan turun dengan deras. Jadi jalanan berlumpur hari itu adalah akibat dari semalam. Perjalanan menjadi lambat, mereka harus berhati - hati agar tidak terpeleset. Mereka juga harus berjuang ketika alas kaki mereka terbenam dan kadang - kadang tertinggal di genangan lumpur.
Waktu berlalu dengan cepat, langit mulai terang dan angan mereka untuk melihat matahari terbit dalam keadaan terancam. Suasana mulai ramai dengan munculnya rombongan-rombongan lain dari belakang mereka. Ternyata pantai tidak akan menjadi milik mereka pribadi.
Jalan tidak semakin membaik, lumpur masih menjadi sahabat perjalanan. Abi sudah berhati-hati sejak awal ketika jalan mulai berlumpur. Jangan sampai jatuh pikirnya atau aku akan ditertawakan. Ia merasa sandal yang dipakainya sangat tidak membantunya melewati jalanan berlumpur ini. Ben yang selalu berjalan di belakangnya selalu membantu ketika ia kadang-kadang hampir hilang keseimbangan dan terpeleset.
Ah, berapa lama lagi aku harus berjalan. Tidak tampak tanda-tanda pantai pula, pikir Abi.
Tampaknya sandal ini kulepas saja, dia lebih banyak membawa kesulitan di jalan berlumpur ini, gumam Abi sambil melepas sandalnya.
Tanpa sandal terasa sedikit lebih mudah dibandingkan memakai sandal, namun Abi tetap harus berhati-hati.
"Eh, aku pinjem bahunya ya." kata Abi sambil menyandarkan tangannya kepada bahu orang yang berjalan di sebelahnya. Saat itu jalanan sedikit licin dan Abi butuh bantuan agar tidak terjatuh dan tetap bersih saat sampai di pantai nanti.
"Terima kasih lho." setelah berhasil melewati rintangan.
"Sama-sama mbak." ujar sebuah suara pria asing di samping yang ternyata bukan Ben.
Abi kaget, dia kira orang yang ia pinjam bahunya untuk menyandarkan tangannya adalah Ben, ternyata bukan. Pria itu lebih tinggi darinya, ia juga terlihat seperti sedang berlibur ke pantai ini dan dilihat dari wajahnya tampaknya ia juga masih mahasiswa.
Dalam hati Abi merasa malu. Kenapa dia bisa tidak sadar, padahal dia tadi sudah merasa aneh ketika menyandarkan tangannya dan merasa bahu Ben lebih tinggi dari biasanya. Tanpa sadar wajahnya merona merah.
"Mbak, sandalnya dipakai saja lagi kita sudah mau sampai." kata pria asing itu mengingatkan sambil tersenyum dan kemudian berlalu.
Abi semakin salah tingkah, tapi ia berhasil mengendalikan dirinya dan mengucapkan terima kasih atas saran pria itu.
Tidak berapa lama terdengar suara tertawa yang ditahan, ternyata Ben yang ada di belakang.
"Woy, kenapa ga bilang sih? Gw jadi malu kan, gw kira lo tadi di sebelah gw." ujar Abi kepada Ben.
"Hahaha, dari tadi juga gw di belakang lo, nah pas lo ngomong minjam bahu gw kira lo tahu siapa orang yang ada di sebelah lo." kata Ben masih sambil tertawa.
Masih merasa malu atas kejadian tadi Abi pun meneruskan perjalanannya dan berharap Ben tidak menceritakan kejadian memalukan tadi kepada yang lain.
Ternyata pria tadi benar, pantai ternyata sudah dekat. Ia mendengar suara debur ombak, tanah berlumpur sudah menjadi pasir pantai.
Dan terhamparlah pasir putih pantai di hadapannya, di sebelah kirinya terhampar gugusan karang yang diterjang ombak.
Tidak sia-sia perjalanan melewati tanah berlumpur tadi, pemandangan yang ada di depan dan sekelilingnya adalah hadiah yang luar biasa. Salah satu karya lagi dari sang pelukis agung di atas.
Abi kembali tersadar dari lamunannya.
Ia masih tersenyum. Ben sudah meninggalkannya dan sedang bersama teman - teman mereka yang lain larut dalam kesenangan bergulung dengan ombak.
Jauh dalam hati kecilnya ada pertanyaan, apakah ia akan bertemu kembali dengan pria itu. Hanya saja ia lupa bagaimana rupa pria itu.
Ia hanya ingat senyum terakhir dan warna baju yang dipakainya.
Baju berwarna biru.

No comments:

Post a Comment